ZIONISME, GERAKAN POLITIK PENDORONG TERBENTUKNYA NEGARA ISRAEL
Zionis digunakan untuk menyebut pengikut gerakan politik Zionisme. Zionisme merupakan gerakan politik yang bertujuan mendukung keberadaan negara Israel.
Di Perjanjian Lama atau Taurat, Yerusalem dan Israel disebut sebagai Zion.
Zionisme atau gagasan yang berupaya membentuk sebuah negara Yahudi merdeka, dimulai pada abad ke-19 dengan berbagai tulisan seperti yang ditulis oleh Theodor Herzl.
Siapa Theodor Herzl…?
Theodor Herzl, 2 Mei 1860- 3 Juli 1904 di Budapest, Hungaria, – meninggal pada tanggal , Edlach, Austria, pendiri gerakan politik Zionisme, sebuah gerakan untuk mendirikan sebuah tanah air Yahudi. Pamfletnya The Jewish State (1896) mengemukakan bahwa pertanyaan Yahudi adalah sebuah pertanyaan politik yang harus diselesaikan oleh sebuah dewan dunia bangsa-bangsa. Dia mengorganisir sebuah kongres dunia Zionis yang bertemu di Basel, Swiss, pada bulan Agustus 1897 dan menjadi presiden pertama Organisasi Zionis Dunia, yang didirikan oleh kongres tersebut. Meskipun Herzl meninggal lebih dari 40 tahun sebelum berdirinya Negara Israel, dia adalah seorang penyelenggara, propagandis, dan diplomat yang tidak kenal lelah, yang memiliki banyak kaitan dengan membuat Zionisme menjadi gerakan politik yang memiliki makna di seluruh dunia. Sumber : britanica.com
Sebagai informasi, istilah Zionis dapat merujuk pula kepada pendukung non-Yahudi atas negara Israel. Misalnya, pemerintah Amerika Serikat dan Inggris dikenal sebagai negara non-Yahudi yang mendukung Israel. Banyak pihak, terutama setelah Holocaust, merasa bahwa pembentukan sebuah negara Yahudi memiliki legitimasi.
Meskipun demikian, gagasan tentang negara Israel sebenarnya telah muncul jauh sebelum itu.
Yudaisme merupakan keyakinan yang lahir di daerah yang sekarang dikenal sebagai Israel. Akibatnya, orang-orang Yahudi pada era sebelum masehi menganggap Israel sebagai rumah mereka.
Meskipun memiliki dukungan teks agama terutama dari Taurat, gerakan Zionis lebih bersifat politis daripada religius. Tujuan utama Zionisme adalah untuk mengakhiri pengasingan Yahudi dari tanah leluhur mereka, sehingga negara Israel lebih mewakili entitas negara (politik) dibandingkan entitas agama. Gerakan Zionisme mendapatkan momentumnya setelah Holocaust pada PD II yang mengarah pada pembentukan Israel pada tahun 1948. Migrasi awal orang Yahudi ke Palestina (nama daerah tersebut sebelum tahun 1948) dalam jumlah besar terjadi pada tahun 1947 yang melibatkan perpindahan sekitar 630.000 orang Yahudi.
Sangat penting untuk dicatat bahwa tidak semua orang Yahudi adalah Zionis. Bahkan, sekte-sekte keagamaan Yahudi tertentu sangat menentang pembentukan negara Yahudi.
Yahudi Hasid, misalnya, cenderung bersikap kritis terhadap Zionisme. Mereka berkeyakinan bahwa negara Yahudi seharusnya dibentuk setelah kedatangan Mesias. Oposisi terhadap Zionisme juga muncul diantara bangsa Arab dan muslim.
Akibat perpindahan massal orang Yahudi, populasi Palestina semakin menurun dan pindah ke negara tetangga seperti Yordania. Konflik semakim mengeras karena orang Yahudi dan muslim sama-sama menganggap Yerusalem sebagai tempat suci mereka.
Setelah menyaksikan kengerian dan eksekusi massal ( peristiwa holocaust – yang masih diperdebatkan berapa sebenarnya korban Yahudi ), banyak pihak bersimpati dengan usaha pembentukan negara Yahudi. Ini diperkuat oleh fakta sejarah bahwa di sepanjang periode diaspora, Yahudi selalu menjadi objek diskriminasi dimanapun mereka tinggal.
Orang Yahudi mengalami diskriminasi di hampir setiap tempat mereka menetap, termasuk Mesir, Yunani, Eropa abad pertengahan, dan Rusia abad ke-20 serta Eropa Timur. Namun Zionisme tetap menjadi isu panas. Permasalahan tidak hanya berkisar mengenai perebutan wilayah melainkan diperumit dengan sentimen keagamaan yang kental.
GERAKAN ZIONISME INTERNASIONAL
Ketika kongres pada 1897 itu berlangsung bangsa Arab-Palestina mencapai angka 95%, dan mereka menguasai 99% dari tanah Palestina. Jadi jelas sejak awal Zionisme bertujuan untuk menghapuskan kepemilikan dari tangan mayoritas Arab-Palestina, baik secara politik maupun fisik, merupakan suatu persyaratan yang tak dapat dihindari untuk dapat membentuk sebuah negara Yahudi. Dalam tujuan itu tidak hanya terbatas pada tanah, tetapi tanah tanpa penduduk lain di tengah-tengah mayoritas penduduk Yahudi.
Setelah kegagalannya dengan Sultan Abdul Hamid II, setahun setelah Kongres Zionisme Internasional ke-1di Bazel, pada tahun 1898 Tehodore Herzl mengalihkan perhatiannya kepada Jerman dan Kaizer Wilhelm II yang memiliki ambisi ke Timur Tengah. theodore Herzl secara ketus memberi-tahukan orang Jerman, “Kami membutuhkan sebuh protektorat, dan Jerman kami anggap paling cocok bagi kami”. Ia mengemukakan bahwa para pemimpin Zionisme adalah orang-orang Yahudi berbahasa Jerman. Jadi sebuah negara Yahudi di Palestina akan memperkenalkan budaya Jerman ke wilayah tersebut. Namun Kaizer menolak usul Theodore Herzl, sebab utamanya, ia tidak ingin menyinggung perasaan kesultanan Usmaniyah, yang merupakan langganan utama produk persenjataan Jerman, atau membuat murka kaum Kristen di dalam negeri.
Sementara itu pada tahun 1899 walikota Jerusalem, Youssuf Zia Khalidi, seorang cendekiawan Palestina anggota parlemen Usmaniyah, menulis sepucuk surat yang diteruskan kepada Theodore Herzl, memperingatkan klaim Zionis terhadap Palestina. Bangsa Arab-Palestina secara khusus menentang tuntutan Zionisme yang didasarkan pada dalih oang Yahudi mempunyai hak atas tanah Palestina hanya karena mereka pernah hidup dua milinea yang silam. Khalidi mencatat bahwa klaim kaum Zionis atas Palestina tidak dapat dilaksanakan mengingat tanah palestina telah berada di bawah kekuasaaan Islam selama 13 abad terakhir dan bahwa orang Kristen memiliki kepentingan yang sama mengingat tempat-tempat suci yang ada. Lagipula ia menambahkan penduduk mayoritas Arab-Palestina menentang penguasaan kaum Yahudi. Ketika Istambul memutuskan pada tahun 1901 untuk memberikan penduduk asing, yang pada intinya bermakna imigran baru Yahudi, hak yang sama untuk membeli tanah, sekelompok tokoh-tokoh terkemuka Arab-Palestina mengirim sebuah petisi ke ibukota Usmaniyah memprotes kebijakan itu.
Di pihak Theodore Herzl tanpa mengenal putus-asa ia memalingkan mukanya ke Inggris. itu dilakukannya pada tahun 1902. Di sini ia menemukan lahan yang subur. Ada tradisi di kalangan Kristen Protestan dan para penulis Inggris sepanjang 2 abad sebelumnya untuk mendukung “kembalinya orang yahudi ke Palestina”, tradisi yang juga bergerak ke Amerika Serikat. lagipula kepentingan Inggris tentang keamanan Terusan Suez sebagai urat-nadi ke jajahan-jajahannya di Timur Jauh telah menggiringnya untuk merebut Mesir pada tahun 1882, dan pengamanan Terusan Suez tetap merupakan fokus kepentingan London di wilayah tersebut. Mempunyai penduduk yang bersahabat di wilayah itu akan memberikan keuntungan yang tak terperikan bagi Inggris.
Sebagaimana Jerman, Inggris pun merasa tidak memiliki kepentingan berhadapan dengan Sultan, membuka dukungan Inggris terhadap Palestina bukan hal yang menarik bagi Inggris. Lalu Theodore Herzl meminta membuka hubungan denga teritori Inggris yang terdekat: Siprus, El Arish, atau Semenanjung Sinai. Menteri daerah jajahan Joseph Chamberlain mencoret Siprus, karena kehadiran Yahudi akan menimbulkan murka penduduk Yunani dan Turki, dan Mesir tidak disetujui, karena gubernur Inggris setempat menentang memberikan tanaha sejengkal pun dari wilayah Messir. lalu Chamberlain menyarankan sebuah teritori sebagai kompromi, kira-kira seluas Palestina didaerah Afrika Timur milik Inggris. Meskipun pada waktu itu daerah itu dinamakan Uganda, wilayahnya kini kira-kira ada di Kenya.
Theodore Herzl bersuka-cita dengan tawaran itu. Menurut Herzl kalau bukan menjadi pengganti bagi Palestina, paling tidak berperan sebagai batu-oncatan. Tetapi saran itu berhadapan dengan badai protes dari kaum Zionis terutama datang dari Rusia dan juga daerah-daerah jajahan Inggris. pada awal 1904 baik Thedore Herzl maupun Joseph Chamberlain dengan senang-hati bersepakat melupakan pikiran itu.
Pengalaman itu sangat menguntungkan bagi Zionisme. Sebuah hubungan penting telah terjalin dengan pejabat-pejabat tinggi pemerintahan Inggris, suatu hubungan yang diramalkan Theodore Herzl dengan tepat, bahwa pada suatu saat akhirnya kelak akan membawa hasil yang nyata. Sebelum meninggalnya pada tanggal 3 Juli 1904 theodore Herzl berkata kepada seorang kawan, “Anda akan lihat waktunya akan tiba Inggris akanmelakukan apa saja yang ada dalam kekuasaaannya untuk menyerahkan Plaestina kepada kita untuk beridirnya suatu negara Yahudi”. Sesudah ini ambisi kaum Zionis difokuskan semata-mata pada Palestina sebagai tempat bagi negara Yahudi yang diharapkan.
Masyarakat Palestina tidak banyak mengetahui langkah-langkah yang ditempuh Theodore Herzl selama ini. Hubungan antara orang Arab Palestina dengan orang Yahudi secara umum cukup bersahabat sampai dengan revolusi turki Muda pada 1908. Menurut sejarawan Neville J. Mendell, “Menjelang malam Revolusi turki Muda … sentimen anti-Zionisme mapa masyarakat Arab belum nampak. Sebaliknya memang ada keresahan bekenaan dengan makin meluasnya masyarakat anti-Yahudi di Palestina, dan penentangan yang kian meluas terhadap hal itu”. Sejarawan Israeli, Gershon Shafir, menambahkan, “Revolusi Turki Muda pada bulan Juli 1908 harus dipandang sebagai permulaan konflik Yahudi-Arab secara terbuka, demikian juga lahurnya gerakan nasionalisme Arab”.
Sebagian besar ketidak-pedulian masyarakat Arab-Palestina sampai tahun 1908 disebabkan oleh kenyataan bahwa para perintis Zionis berhasil menekankan bahwa permintaan mereka hanya tanah dan hubungan persahabatan, sambil tetap menutupi tujuan yang sesungguhnya – mengusir orang Arab-Palestina. Sesuai buku-buku Theodore Herzl tentang perlunya tindakan “kehati-hatian dan kewaspadaaan”, bahkan di saat masa real-kolonialisme sudah redup, gagasan yang berisi niat untuk mengusir penduduk asli setempat untuk memberikan ruang bagi imigran asing dianggap terlalu sinis, sehingga para perintis Zionisme berupaya menghindarinya demi pertimbangan politik, serta demi kebutuhan untuk memelihara hubungan baik sehari-hari dengan tetangga mereka.
Kepada publik, kaum Zionis menekankan betapa manfaat yang akan didapat oleh masyarakat Arab-Palestina dan kesultanan Usmaniyah dengan kehadiran imigran Yahudi yang baru yang akan membawa serta bersama mereka modal, ilmu pengetahuan, dan hubungan dengan jaringan internasional.
PENGUSIRAN ORANG ARAB-PALESTINA
Pada tahun 1905 Israel Zangwill, seorang organisator zionisme di Inggris dan salah seorang propagandis Zionisme terkemuka yang menciptakan slogan, “sebuah tanah air tanpa rakyat, untuk rakyat tanpa tanah air”, mengakui, bahwa Palestina bukanlah tanah tanpa rakyat.
David Ben-Gurion ( yang kemudian terpilih menjadi PM Israel yang pertama ) salah satu tokoh Zionis, , dengan gamblang menjelaskan hubungan antara Zionisme dengan pengusiran sebagai berikut, “Zionisme adalah pemindahan orang Yahudi. Pemindahan orang Arab jauh lebih mudah daripada cara-cara lainnya.”. Atau, sebagaimana ditandaskan cendekiawan Israeli, Benjamin Beit Hallahmi, “Kalau masalah dasar yang dihadapi oleh Yahudi diaspora adalah bagaimana bertahan hidup sebagai kaum minoritas, maka masalah dasar Zionisme di Palestina adalah bagaimana melenyapkan penduduk asli dan menjadikan kaum Yahudi sebagai mayoritas”.
APA ITU DIASPORA
Istilah “diaspora” digunakan untuk merujuk pada penyebaran kelompok agama atau kelompok etnis dari tanah air mereka, baik dipaksa maupun dengan sukarela. Kata ini juga digunakan untuk merujuk pada penyebaran orang-orang sebagai kelompok kolektif dan masyarakat.
Sejarah manusia menunjukkan sejumlah diaspora. Tercerabut dari tanah kelahiran dan budaya, bisa menjadi suatu peristiwa besar bagi seseorang atau sekelompok orang.
Diaspora berasal dari istilah Yunani Kuno yang berarti “menyebarkan atau menabur benih.” Diaspora berbeda dengan imigrasi. Diaspora mengharuskan anggota suatu masyarakat pergi bersama dalam periode waktu yang singkat, bukan pergi perlahan-lahan dalam waktu lama meninggalkan kampung halaman.
Masyarakat yang melakukan diaspora juga dicirikan dengan usaha mereka untuk mempertahankan budaya, agama, dan kebiasaan lainnya di tempat baru. Mereka biasanya hidup berkelompok dengan sesamanya, dan kadang tidak mau berinteraksi dengan warga lokal.
Salah satu contoh diaspora yang terkenal adalah diaspora Yahudi yang dimulai pada tahun 600 SM. Orang-orang Yahudi sering digunakan sebagai contoh klasik diaspora karena telah berpindah beberapa kali, dengan banyak diantaranya melalui paksaan.
Meskipun beberapa kali berpindah tempat, orang Yahudi yang mengalami diaspora tetap berusaha mempertahankan ikatan komunitas yang kuat beserta dengan tradisi, budaya, dan agama mereka.
Konsep diaspora juga bisa digunakan dalam konteks diaspora Afrika. Orang Afrika banyak mengalami pemindahan paksa oleh orang Eropa untuk kemudian dijadikan budak.
Banyak diaspora terjadi sepanjang sejarah, dengan penyebab mulai dari bencana alam, usaha mencari tempat yang lebih baik, hingga akibat paksaan.
Selain berusaha untuk mempertahankan identitas mereka, banyak anggota dari diaspora berharap suatu saat nanti kembali ke tanah air mereka untuk sekedar berkunjung atau untuk hidup permanen.
Baca selanjutnya : SEJARAH BERDIRINYA NEGARA ISRAEL